Oleh: Pilipus Tana
Mahasiswa Universitas Mercu Buana Yogyakarta
Saudara? Bagi saya saudara adalah orang yang selalu ada buat saya, baik suka maupun duka, sehingga terbentuklah persaudaraan antara saya dan seseorang. Berbicara soal persaudaraan berarti berbicara soal kedekatan saya terhadap orang lain, yang tentunya lebih dari sekedar teman biasa atau persahabatan yang lebih mendalam. Hidup dalam persaudaraan juga sudah tidak asing ditelinga saya. Mengapa demikian? Sebab dari sebelum saya masuk komunitas calon imam, saya sudah merasakan persaudaraan bersama dengan teman-teman. Pada saat menjalankan persahabatan layaknya persaudaraan, saya sungguh merasakan jatuh bangun dalam berelasi dengan teman. Dikucilkan, tidak ditegur, dan dijahui sudah pernah saya rasakan. Bahkan perasaan yang paling berat yang saya rasakan dalam persaudaraan ini ialah pada saat saya tidak ditegur oleh teman hingga kurang lebih setengah tahun. Hingga akhirnya, saya memutuskan untuk masuk di komunitas ini meski tidak seorangpun yang saya kenal, demi menjalani panggilan hati.
Hari terus berlalu hingga akhirnya saya harus meninggalkan semua persaudaraan yang saya bangun bersama teman-teman dengan kenangan yang menyedihkan. Terlepas dari persaudaraan itu, saya merasa kehilangan saudara lama saya. Awalnya saya berpikir bahwa saya tidak lagi mempunyai atau mendapatkan persaudaraan seperti sebelumnya. Namun, semua di luar pikiran saya. Pola pikir saya tentang persaudaraan kini sudah berubah. Awalnya saya merasa bahwa persaudaraan itu adalah suatu hubungan yang baik jika saya memiliki perilaku yang baik agar disukai banyak orang. Namun kini, di komunitas ini saya sungguh merasakan persaudaraan yang sesungguhnya, di mana kelemahan bukan suatu hambatan dalam berelasi. Keterbukaan diri satu sama lain sangat dihargai, permasalahan yang saya miliki dengan mudah dimaafkan dan dilupakan hingga berlalu, suka duka dijalani bersama, dan hidup saling mendukung sangat dijunjung tinggi. Hingga suatu perbedaan yang membuat saya merasa Tuhan memanggil saya ialah kepekaan teman-teman komunitas terhadap diri saya. Merekalah yang selalu menghibur dan memberikan semangat kepada saya. Oleh karena itu, saya patut mensyukuri itu semua.
Dari kedua perbedaan ini, saya ingin katakan bahwa persaudaraan di luar sungguh berbeda dengan apa yang saya rasakan di komunitas ini. Namun, saya bersyukur dengan hidup persaudaraan yang saya rasakan di luar itu. Mengapa demikian? Sebab, dengan saya merasakan persaudaran itu, saya dapat menemukan dan merasakan persaudaraan yang sesungguhnya. Ini tentu bagian dari rencana Tuhan pada diri saya. Surat Roma berkata kepada saya “saya tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Ia, yaitu bagi mereka yang dipanggil sesuai dengan rencana Allah,” (Rm 8:28). Sungguh ayat inilah yang membuat saya menyadari betapa baiknya Tuhan pada diri saya, sehingga Ia mau bekerja demi kebaikan diri saya yang Ia panggil sesuai rencana-Nya. Dari ayat ini juga saya mulai menyadari bahwa semua yang saya rasakan ini adalah bagian dari panggilan Tuhan. Dalam menjalani hidup persaudaraan, dibutuhkan juga sikap tulus ikhlas, dan mengasihi sebagaimana dikatakan dalam surat Petrus, “kamu dapat mengamalkan kasih persaudaraan yang tulus ikhlas, hendaklah kamu bersungguh-sungguh saling mengasihi dengan segenap hatimu,” (1 Ptr 1: 22). Ayat ini pun mengajak saya untuk saling mengasihi dalam hidup persaudaraan.
Dalam menjalani hidup persaudaraan, saya juga didukung oleh materi vita consecrata. Salah satunya ialah panguyuban religius. “Kamu semua adalah saudara,” dari kata ini sangat jelas bahwa persaudaraan tidak memandang status dan latar belakang seseorang karena semua adalah saudara, semua sama di hadapan Tuhan. Kaitan dengan kata-kata ini juga mengajak saya untuk hidup dalam persaudaraan rohani di mana persaudaraan ini dikaruniai dan disertai oleh Roh Kudus sebagaimana yang dikatakan dalam Injil Matius, “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam namaKu, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka,” (Mat 18: 20). Ayat ini seperti mau mengatakan kepada saya bahwa dalam menjalani persaudaraan yang didasarkan atas kepercayaan kepada Tuhan dengan sendirinya Ia sungguh hadir dalam persaudaraan itu. Dalam menjalani persaudaraan itu, saya sangat membutuhkan kesetiaan (tetap eksis) walaupun mengalami kesulitan-kesulitan. Di sinilah sikap dan kesetiaan saya diuji. Oleh karena itu, saya diajak untuk tetap setia, baik suka maupun duka. Sebagaimana dikatakan dalam surat Petrus, “Hendaklah kamu semua seia sekata, seperasaan, mengasihi saudara-saudara, penyayang dan rendah hati,” (1 Petrus 3: 8). Agar persaudaraan ini juga terus terjalin erat, dibutuhkan sikap saling menerima dan saling mengampuni. Dengan demikian, saya dapat menjalin hubungan persaudaraan yang harmonis sebagaimana yang dikatakan dalam surat Kolose, “sabarlah kamu seorang terhadap yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu perbuat lah juga demikian,” (Kol 3: 13). Sangat jelas bahwa ayat ini mau mengajak saya untuk terus mengampuni sebab Tuhan sendiri mau mengampuni saya.
Facebook Comments